Oleh : Dr. Abdul Aziz Hakim, SH., MH (Dosen Hukum Tata Negara Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Wilayah Maluku Utara (APHTN/HAN Malut).
Upaya Hukum Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Selatan Bahrain Kasuba-Muchlis Sangaji untuk mengajukan permohonan gugatan ke Bawaslu terkait penolakan KPU Halmahera Selatan (Halsel) dalam masa tahapan pendaftaran, itu ruang hukumnya sangat kecil, bahkan kemungkinan besar tidak ada peluang konstitusional untuk menggugat KPU Halsel. Alasan pertama, bakal pasangan calon Bahrain Kasuba-Muchlis Sangaji secara konstitusional tidak terpenuhi syarat formil sebagaimana ketentuan PKPU Nomor: 1 Tahun 2020 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota Dan Wakil Walikota dan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor: 394/Pl.02.2-Kpt/06/Kpu/Viii/2020 Tentang Pedoman Teknis Pendaftaran, Penelitian Dan Perbaikan Dokumen Persyaratan, Penetapan, Serta Pengundian Nomor Urut Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota.
Dalam peraturan ini tentu mengatur syarat pendaftaran pencalonan bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati sebagai syarat formil konstitusional yang harus dipenuhi oleh Bapaslon Bupati dan Wakil Bupati. Dalam kajian saya memang BK-Muchlis melanggar bahkan tidak memenuhi ketentuan soal keterpenuhan syarat calon pada saat melakukan pendaftaran di KPU Halsel, Hal ini disebabkan ketidakhadiran pengurus partai politik dan Bahrain Kasuba sendiri sebagai Balon Bupati saat dimulainya proses pendaftaran, tentu saja ini menabrak ketentuan Pasal 39 ayat (7) PKPU Nomor: 1 Tahun 2020 dan Keputusan KPU Nomor: 394/Pl.02.2-Kpt/06/Kpu/Viii/2020, pada bagian Tata Cara Penerimaan Pendaftaran (angka 1 dan 3). Nah, norma inilah yang menjadi sandaran hukum secara administratif oleh KPU sebagai syarat formil untuk tidak menerima Bapaslon Bupati dan Wakil Bupati BK-Muchlis. Dalam optik hukum administrasi negara tentu KPU Halsel sebagai Pejabat Tata Usaha Negara berwenang menolak atau tidak menerima ketidaklengkapan administrasi soal syarat pendaftaran pencalonan karena itu atribusi langsung dari peraturan perundang – undangan yang wajib dilaksanakan oleh KPU Halsel. Sebab jika ini tidak dilakukan, maka implikasi kuat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh KPU Halsel dalam hal menerbitkan keputusan atau penetapan (Beschikking) untuk meloloskan Bapaslon BK-Muchlis. Dalam pandangan saya justru KPU Halsel, dalam konteks ini patut kita apresiasi karena konsistensi dalam menegakan aturan – aturan hukum Pilkada, public harus mendukung sikap KPU Halsel karena berani menegakan supremasi hukum dalam proses penyelenggaraan Pilkada di Halsel.
Saya kira urusan untuk memproses secara hukum KPU Halsel itu hak konstitusional warga negara, tetapi sebagai warga Negara yang baik juga harus memberikan apresiasi kepada penyelenggara Pemilu yang konsisten dalam menegakan hukum. Sebab, harus di ingat bahwa salah satu prinsip pokok Negara Hukum adalah bahwa apapun yang kita lakukan baik itu pejabat negara ataupun warga negara biasa, wajib berdasarkan ketentuan hukum yang beralaku, bukan karena suka tidak suka, inilah salah satu konsep utama lahirnya negara hukum yang menjadi dasar negara, yang dimanifestasikan dalam bentuk undang – undang agar tercipta kepastian hukum, demi ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, khususnya dalam momentum Pilkada.
Kedua, menurut saya, soal wacana bahwa BK-Muchlis akan melakukan gugatan/permohonan ke Bawaslu dengan jalan menggunakan konsep fiktif negatif sebagai upaya hukum untuk menggugat KPU Halsel atas penolakan pendaftarannya tersebut. Dalam pandangan saya bahwa penerapan konsep “fiktif negatif” sebagai salah satu konsep hukum adminsitrasi negara, tentu harus dilihat dulu apa konteksnya. Sebab fenomena hukum dalam Pilkada Halsel jika dikaji dari perspektif hukum administrasi negara, justru pemberlakuan konsep “fiktif negatif” tidak relevan dan tidak tepat. Sebab jika konsep ini diberlakukan maka justru kita tidak memahami konsep dasar secara benar dalam pemberlakuan “fiktif negatif” itu sendiri, sebagai salah satu jenis atau model keputusan tata usaha negara.
Dalam khazanah ilmu hukum admnistrasi negara, konsep ini dilakukan jika seorang Pejabat Tata Usaha Negara lalai atau bersikap diam (fiktif) dalam menunaikan kewajibannya untuk menerbitkan sebuah keputusan (Beschikking) sebagaimana perintah peraturan perundang – undangan. Saya contohkan jika seorang Kepala Daerah tidak membuat Surat Keputusan Penetapan kepada Calon Aparatur Sipil Negara (ASN), padahal si calon ASN ini berdasarkan pengumuman Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dinyatakan lulus mengikuti tahapan seleksi. Maka dalam konteks ini sang Kepala Daerah wajib melakukan penetapan pengangkatan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), karena memang undang – undang memerintahkan demikian. Jika sikap Kepala Daerah dalam konteks ini tidak menerbitkan surat keputusannya atau bersikap diam (fiktif) atau menolaknya (negatif), dalam kurun waktu tertentu atau tidak, maka Kepala Daerah dalam hal ini dianggap menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, inilah konsep “fiktif negatif” yang sebenarnya yang dikenal dalam teori hukum administrasi negara sebagaimana di adopsi dalam Pasal 3 Undang – undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Maka berdasarkan konsep yang telah dinormatifkan tersebut, dalam pandangan saya jika dihubungkan dengan kasus Pilkada Halsel justeru tidak relevan dan/atau tidak tepat untuk digunakan sebagai landasan teori dan norma dalam melakukan gugatan. Sebab norma yang mana yang dilanggar oleh KPU Halsel dalam sikapnya melakukan penolakan terhadap BK-Muchlis sebagai Bapaslon Bupati dan Wakil Bupati saat masa pendaftaran.
Justeru sikap KPU Halsel dalam konteks ini berkewajiban menolaknya karena itu perintah yang harus dijalankan menurut peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan PKPU Nomor: 1 Tahun 2020 dan Juknisnya sebagaimana diatur dalam Keputusan KPU Nomor: 394/Pl.02.2-Kpt/06/Kpu/Viii/2020, sebagai syarat formil dan materil Bapaslon Bupati dan Wakil Bupati saat pendaftaran pencalonan. Berdasarkan hal tersebut maka tindakan KPU Halsel yang tidak mengikutsertakan Bahrain-Muhlis pada proses pendaftaran tidak dapat dikontruksikan dalam konsep “fiktif negatif’, sebab langkah dan sikap KPU Halsel dalam posisi tidak mendiamkan (fiktif) atas kewenangannya selaku pejabat TUN, malah dalam konteks ini KPU Halsel telah melaksanakan sesuai amanat peraturan perundang – undangan, sehingga ia berkewajiban untuk melakukan sikap “penolakan” atas tidak terpenuhinya syarat pencalonan saat pendaftaran di KPU Halsel. Nah, lain halnya jika dalam konteks ini ada norma lain yang memerintahkan KPU Halsel untuk menerima pendaftaran pencalonan seperti kasus ini.
Jadi dalam konteks ini konsep “fiktif negatif” menurut saya tidak relevan atau/atau tidak tepat baik secara yuridis mapun secara teori untuk diterapkanya konsep tersebut. Cacat yuridis dalam konteks hukum administrasi negara karena ketidak terpenuhan aspek materil dan formil. Sedangkan secara teori tidak dapat diterapkan karena konsepnya tidak relevan dengan kasus ini. Maka menurut saya upaya hukum dalam melakukan gugatan/permohonan kepada Bawaslu, saya kira landasan teori hukumnya sangat lemah, sehingga tidak punya kedudukan hukum (legal standing) dalam melakukan upaya hukum. Jadi posisi BK-Muchlis dalam kasus ini tidak mempunyai ruang untuk melakukan upaya hukum ke Bawaslu.
Terakhir menurut saya, harus dicatat bahwa paradigam hukum dalam memandang kasus Pilkada Halsel, harus kita rubah mindset hukum kita, berdasarkan kaedah dan asas-asas ilmu hukum. Pilkada itu ranahnya hukum khusus (lex specialis) bukan ranah hukum umum (lex generalis). Dalam optik ilmu hukum perundang – undangan kita mengenal asas hukum “Lex specialis derogat legi generalis“ adalah asas hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Pandangan ini saya sampaikan untuk menjawab bahwa konsep “fiktif negatif” dalam kasus ini dapat diterapkan karena ini diatur dalam UU PTUN.
Jika disandarkan dalam konteks ini menurut saya akan melanggar asas tersebut, sebab pengaturan dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur soal “fiktif negatif” itu diatur dalam konteks umum (lex generalis), sedangkan dalam konteks hukum Pilkada yang merupakan hukum khusus (lex specialis), tidak mengatur soal konsep fiktif negatif. Saya kira soal ini kita memahami bersama bahwa pengaturan mengenai sistem hukum Pilkada mulai dari Bawaslu, PTTUN, sampai pada tingkat di Mahkamah Agung itu sudah diformulasikan secara khusus demi menegakan prinsip – prinsip demokrasi sistem kedaulatan politik di negeri ini. Jika ini dipahami secara komprehensif, saya kira proses Pilkada dilakukan secara tertib dan damai tidak melahirkan resistensi konflik yang berlarut. Tentu menurut saya bahwa ketentuan perundang – undangan soal Pilkada sudah mengantisipasi seluruh dinamika sosio politik yang akan dihadapi tahap demi tahap dalam Pilkada, sehingga kewajiban kita sebagai warga negara yang baik untuk menaatinya. Tentu hak berpolitik kita dilindungi oleh konstitusi, namun hak ini juga harus di jalankan menurut ketentuan dan batasan konstitusional. (**)