LIPUTAN-MALUT.com
NEWS TICKER

Puluhan Masa Aksi GMNI Halut Gelar Aksi Indonesia Darurat Demokrasi

Selasa, 27 Agustus 2024 | 12:07 am
Reporter: Willy Parton
Posted by: LIPUTAN MALUT
Dibaca: 94

HALUT, Liputan-Malut.com – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Halmahera Utara (Halut) turun ke jalan gelar aksi sebagai bentuk keprihatinan dimana Indonesia saat ini berada dalam darurat demokrasi.

Aksi yang diikuti puluhan Mahasiswa GMNI Halut pada Senin (26/08/2024) dengan berjalan kaki dengam membawa spanduk yang bertuliskan Indonesia Darurat Demokrasi.

Dalam aksinya, disebutkan bahwa belum genap sehari Rakyat Indonesia merayakan kado 79 tahun Kemerdekaan
dari Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 pada tanggal 20 Agustus 2024, yang dalam dua putusan tersebut memberikan angin segar pada kehidupan Demokrasi Bangsa. Namun, semua harapan
dalam kado itu seketika sirna serta menjadi pertanda yang lebih buruk daripada yang dibayangkan. Badan Legislasi DPR RI bergerak cepat menarik kembali kado yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut kurang dari 24 jam. Tepatnya di pagi
hari 21 Agustus 2024, Baleg DPR RI mengagendakan rapat untuk melanjutkan Revisi UU Pilkada yang menentang norma dalam 2 putusan MK tadi. Siasat politik hukum yang dilakukan DPR RI bertujuan tidak lain adalah untuk menganulir Putusan MK. Hal ini juga tercerminkan dalam teori vetokrasi oleh ilmuwan politik Francis Fukuyama, bahwa aspirasi kolektif rakyat bisa diveto oleh hanya sekelompok orang. Vetokrasi ini yang memberikan karpet merah pada praktik legislasi ugal-ugalan oleh DPR.

Beberapa hal yang harus dipahami dalam putusan 60/PUU-XXII/2024 dan
70/PUU-XXII/2024 diantaranya dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara 60/PUU-XXII/2024,
menyatakan Pasal 40 ayat (1) UU No.10 Thn 2016 bertentangan dengan UUD
NRI Tahun 1945. Pasal 40 ayat (1) UU No.10 Thn 2016 yaitu: Partai Politik atau
gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah
memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit dua puluh persen dari
jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau dua puluh lima
persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi menetapkan norma pada Pasal 40 ayat (1) yang semula berbasis kursi parlemen di DPRD menjadi hanya perolehan suara sah yang berbasis pada jumlah Daftar Pemilih Tetap. Pasal
tersebut berubah yakni Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan diantaranya untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah
paling sedikit sepuluh persen di provinsi tersebut. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2.000.000 jiwa sampai dengan 6.000.000  jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit delapan setengah persen di provinsi tersebut. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6.000.000 jiwa sampai dengan 12.000.000  jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit  tujuh setengah persen di provinsi tersebut.  Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih  tetap lebih dari 12.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit enam setengah persen di provinsi tersebut. Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota diantaranya kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit sepuluh persen di kabupaten/kota tersebut. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 250.000 sampai
dengan 500.000jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling
sedikit delapan setengah persen di kabupaten/kota tersebut. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 500.000 sampai dengan 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit tujuh setengah persen di kabupaten/kota tersebut diantaranya kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar
pemilih tetap lebih dari 1.000.000 jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit enam setengah persen di kabupaten/kota
tersebut.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang
menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Putusan
tersebut menguji pasal 10 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016, yaitu: berusia
paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil
Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat “penentuan batas usia minimum menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selalu
dihitung atau menggunakan titik atau batas sejak penetapan calon.
Penentuan titik atau batas demikian telah menjadi semacam postulat
dalam penyelenggaraan pemilihan”.
Dimana dalam Putusan Mahkamah
Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024, menyatakan Peraturan KPU yang
mengatur Pencalonan Kepala daerah terkait penghitungan syarat minimum usia calon ketika penetapan pasangan calon bertentangan dengan UU 10 tahun
2016, dengan memuat norma baru sejak pelantikan. Bahwa dapat disimpulkan, dengan ditolaknya permohonan tersebut, Putusan MK mengembalikan ke pengaturan awal sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KPU, batas usia minimum calon dihitung sejak penetapan calon, bukan sejak
dilantik menjadi kepala daerah.
Di tengah polemik Revisi UU Pilkada, kiranya kita perlu membaca kembali
konstitusi negara kita. Pada Pasal 24C, UUD NRI 1945, berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.” Tidak perlu penafsiran oleh ahli hukum untuk bisa memahami pasal ini dalam konstitusi kita. Dengan logika sederhana mudah memahami bahwa Mahkamah konstitusi adalah satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kewenangan dalam menguji UU terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga penafsir tertinggi konstitusi berkewajiban untuk memberikan makna
konstitusional. Artinya, selama UU yang diuji oleh MK belum ada perubahan, norma yang diputuskan oleh MK bersifat final dan mengikat. Bahkan lebih dari itu, dalam penyusunan Rancangan UU, sejatinya pembuat UU harus menyesuaikan norma dalam
pasal-pasal rancangan UU tersebut dengan Putusan MK yang sebelumnya telah menguji norma-norma tersebut.
Dalam naskah Revisi UU Pilkada yang dirancang oleh DPR RI tersebut
mengabaikan putusan MK terkhusus pada pasal 7 dan pasal 40. Keheranan rakyat semakin menjadi ketika Rapat Baleg lebih memilih Putusan MA dibanding Putusan MK perihal perhitungan umur syarat Calon Kepala Daerah. Sejatinya kewenangan MK lebih
tinggi daripada kewenangan MA, serta dua putusan Lembaga peradilan tersebut berada dalam koridor yang berbeda. Kewenangan MA ialah menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Secara hierarkis peraturan yang diadili oleh kedua lembaga peradilan tersebut sudah jelas berbeda.Serta pengesahan RUU Pilkada tersebut juga terkesan terburu-buru, yang mana pendaftaran Pasangan Calon Kepala Daerah akan dilaksanakan oleh KPU pada
27 – 29 Agustus 2024. Dalam hal lain, KPU sebagai pelaksana Undang-Undang harus mematuhi amanat UU ataupun Putusan MK yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah. Implikasinya adalah ketika RUU Pilkada disahkan, maka akan menihilkan Putusan MK yang membawa harapan besar atas kembalinya demokrasi pada jalan yang benar.
Pembangkangan terhadap Putusan MK jelas-jelas ditampakan oleh DPR RI melalui Rapat Baleg, yang sama sekali tidak mengindahkan putusan MK tersebut. Sikap yang ditunjukan DPR RI adalah bentuk pembangkangan
serta mengankangi konstitusi yang bertujuan melindungi koalisi pragmatis elit. Upaya politik hukum ini adalah bentuk daripada autocratic legalism yang telah memusatkan pengambilan keputusan pada kekuasaan eksekutif dengan melemahkan pemegang kekuasaan lainnya, yang justru dalam kerangka demokratis bertugas
mengawasi kekuasaan. Dalam bahasa yang berbeda, autocratic legalism diartikan sebagai penyelenggaraan kekuasaan yang seolah-olah sesuai dan patuh secara hukum, tetapi yang dilakukannya adalah memupuk kekuasaan dan melanggar prinsip
dasar berhukum dan bernegara. DPR bukannya mengawasi jalannya pemerintahan, namun sibuk bertarung untuk melanggengkan kekuasaan eksekutif, bahkan bukan hanya eksekutif dalam artian besar namun dalam hal ini datang demi menyelamatkan
satu keluarga eksekutif saja.

Dalam aksinya massa kemudian menyampaikan sikapnya yakni mendesak KPU untuk merubah PKPU sesuai dengan Putusan MK,  Mendesak Komisi II DPR RI untuk mematuhi Putusan MK, Menuntut KPU bersikap independen menolak intervensi dan menegakkan demokrasi, Menolak apabila diterbitkan Perppu yang bertentangan dengan keputusan MK, Menuntut Partai Politik untuk Mendukung Putusan MK, Menuntut Partai Politik untuk Berhenti Melakukan Politik Kartel. Selain itu menuntut Rezim Jokowi Berhenti Mengangkangi Hukum dan Demokrasi,  Menuntut DPR Segera Mengesahkan RUU yang Berpihak pada Rakyat dan Mengabaikan RUU Pesanan Dinasti Maupun Oligarki.

Berita Lainnya