HALSEL,Liputan-Malut.com- Kendati Unit Pelaksana Dinas Teknis (UPTD) Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Halmahera Selatan telah mengetahui adanya kayu olahan di pasaran banyak berasal dari pembalakan liar, bukan dari industri pengolahan kayu yang sah dan legal.
Tetapi, mereka justru membiarkan dan seakan menutup mata karena lebih memilih membela pengusaha kayu yang beli kayu secara ilegal bukan dari pangkalan yang ada izin industri. Buktinya saat ini marak praktik illegal logging (pembalakan liar) dan peredaran kayu olahan ilegal di Halmahera Selatan tak dilarang oleh Dinas terkait dan juga tidak di sentuh Hukum.
Keberpihakan Pemerintah Provinsi Maluku Utara melalui UTPD-KPH Halmahera Selatan ini sangat nyata karena mereka mengeluarkan rekomendasi pembelian kayu sehingga itu menjadi dasar bagi pengusaha untuk membeli kayu yang penting tidak lebih dari lima (5) kubik.
“Pak Daeng mau beli kayu dari masyarakat yang tidak sah terserah yang penting tanggungjawab, jadi kita diberikan rekomendasi dari KPH Bacan soal beli kayu kayu 5 kubik, tapi kalau beli yang tidak sah silahkan yang penting bertanggung jawab,”ujar Hi. Lapanna kepada sejumlah wartawan mengulangi statement dinas Kehutanan.
Harga kayu Ilegal yang dibeli oleh para pengusaha itu nilainya bervariasi dan langsung terima di tempat pangkalan. “Kami beli kayu ilegal itu untuk kelas dua itu per kubik Rp.2.500.000 dibawah lagi Rp. 2.000.000, Rp.1.800.000 dan paling kecil Rp.1.400.000 dan kami terima di pangkalan. Kami beli kayu di relasi yang ada di desa Kaputusang ada 5 orang dan Yoyok dua orang dan ada juga dari Desa Jeret,” tambah Hi. Lapanna biasa disapa Daeng Kumis itu
Terpisah, salah satu pengusaha, Ramli Mangoda dengan tegas meminta Dinas Kehutanan Provinsi Malut untuk segera menindak tegas pemain kayu ilegal yang selama ini beroperasi tanpa izin yang sah.
“Akibat tidak adanya tindakan tegas dari Dinas Kehutanan, industri kayu yang legal terancam gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan pemain kayu ilegal,” ujar Ramli Mangoda
Ramli juga menyampaikan bahwa, berdasarkan data yang diterimanya dari Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara, jumlah izin industri pengolahan kayu yang terdaftar di Maluku Utara pada tahun 2024 sebanyak 76 izin. Namun, yang aktif dan bisa beroperasi hingga saat ini hanya sekitar 15 izin. Hal ini menunjukkan ketimpangan yang terjadi antara industri kayu yang sah dan pemain kayu ilegal yang terus berkembang.
“Selama ini kami sebagai pemilik industri kayu selalu diarahkan oleh Dinas Kehutanan untuk mengikuti aturan, namun pada kenyataannya kami tidak mendapatkan perlindungan yang cukup. Sementara itu, pemain kayu ilegal justru terus beroperasi tanpa adanya tindakan tegas dari aparat terkait,” Sesal Ramli
Menurut Ramli, kehadiran pemain kayu ilegal tidak mematuhi aturan, sementara industri kayu yang legal selalu patuh membayar kewajiban negara, seperti Pajak Negara Bukan Pajak (PNBP), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR), namun mereka merasa seperti tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Kewajiban negara tidak hanya merugikan industri kayu yang legal, tetapi juga mengancam keberlanjutan usaha-usaha pengolahan kayu yang sah di Maluku Utara.
“Kalau ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin industri kayu yang sudah berkembang dan beroperasi dengan legal akan tergerus dan akhirnya gulung tikar,”pungkas Ramli (Red)